Jogja masih panas, sama persis seperti yang ada di ingatanku tentang kota ini.
Jogja masih ramah, sama persis seperti bayanganku dan desas-desus mereka.
Aku menjejakkan kaki di kota ini hanya berbekal mimpi dan sebuah koper, serta beberapa tas kecil dan sepatu lusuh.
Kala itu beberapa bulan lalu. Aku tak pernah berharap banyak, selain sepotong harapan tentang pengalaman dan pundi-pundi yang mungkin akan kukumpulkan.
Hari itu Senin, beberapa bulan setelah awal tahun, aku melihatmu. Tak banyak yang bisa kuingat, mungkin hanya kaos hitam yang selalu kau kenakan? Oh bukan, tatapan lembut matamu yang coklat kehitaman. Ah tentu saja aku tak serta merta menyukaimu. Seperti selai kacang, aku dulu tidak menyukainya. Agak aneh menurutku. Tapi setelah satu sendok icipan aku jatuh cinta. Tidak, tentu saja aku tidak mencicipimu, namun suara itu, terdengar begitu nyaring, unik, lucu, aku menyebutnya. Saat kamu terbata-bata karena mereka menggodamu , saat kamu berapi-api bercerita tentang satu hal yang benar,-benar kau sukai. Satu bulan, dua bulan, demikian seterusnya, aku masih suka. Selai kacang dan kamu. Sampai pada satu ketika, aku menyadari, aku bukan satu-satunya yang menikmati, selai kacang dan kamu. Tentu saja jutaan orang menyukainya dan dia, menyukaimu. Aku bukan yang pertama, tentu. Aku sempat menyalahkan mereka, dia dan semesta. Seharusnya hanya untukku, selai kacang dan kamu. Benar-benar egois dan tamak, aku, karena aku hanya manusia biasa. Aku tahu, tentu saja, pada akhirnya aku tak bisa menyalahkan siapapun atas urusan hatiku, tidak kamu, dia, atau selai kacang itu. Rasa suka, cinta, atau apapun mereka menyebutnya, adalah hal yang lumrah, alamiah, di luar nalar manusia. Dan seperti hal-hal itu, aku tidak bisa memaksamu untuk menyukaiku. Hakku bukan itu, hanya menyukaimu, itu saja, kurasa itu cukup.
Yk©2016
Pict : cr http://jeanfivintage.tumblr.com/
No comments:
Post a Comment